Seberapa Penting Jalan-Jalan?
Mendengar kata “jalan-jalan”, penilaian orang biasanya langsung mengarah
ke pengertian negatif. Jalan-jalan dianggap sebagai kegiatan konsumtif,
buang-buang uang dan waktu, alias kurang berguna. Saya sendiri
mulai berjalan-jalan (saya lebih suka menyebutnya perjalanan) ketika
sudah memiliki penghasilan. Menggunakan dana sendiri memastikan tidak
ada orang lain yang dirugikan ketika saya menjalankan minat saya yang
satu ini. Sulit tentunya jika masih harus meminta orang lain, misalnya
orangtua, untuk mendanai minat atau keinginan kita. Setelah itu, baru kita memikirkan kenapa saya begitu ingin melakukan
perjalanan, lebih dari membelanjakan penghasilan untuk yang lain.
Berikut alasan-alasan saya:
Pengalaman konkret. Apa yang kita
ketahui tentang sebuah tempat tujuan mungkin sudah pernah kita lihat di
televisi atau media lain, tetapi mengalaminya sendiri di lokasi
memberikan perspektif yang berbeda. Misalnya, kita tidak merasakan
signifikansi perayaan Idul Fitri jika tidak merasakannya langsung:
keharuan dan kebahagiaan bercampur menjadi satu. “White
Christmas” yang sering ditampilkan di film-film dan di pusat-pusat
perbelanjaan di Jakarta akan terasa berbeda jika dirasakan langsung.
Kenapa jamaah haji merasakan pengalaman yang luar biasa ketika berada di
Mekkah atau Madinah, itu juga terkait dengan premis ini.
Konsumsi
pengalaman, bukan objek. Saya harus berterimakasih pada Karim Rashid
untuk kutipan satu ini. Kalaupun jalan-jalan dianggap sebagai kegiatan
konsumtif, maka sebaik-baiknya konsumsi adalah pengalaman. Membeli baju,
sepatu dan perangkat elektronik juga konsumsi, namun sifatnya objek.
Konsumsi pengalaman punya nilai guna yang lebih panjang dari objek,
tidak peduli pengalaman baik atau buruk. Pengalaman juga tidak dapat
dipertukarkan, namun dapat selalu menjadi nilai jual. Pengajaran
diri. Tergantung dari bagaimana kita menyikapi sebuah perjalanan, ia
dapat mengubah cara pandang menjadi lebih baik. Tidak cukup hanya
membaca pengalaman orang lain, kita harus mengalaminya sendiri.
Masyarakat negara maju mengalami gegar budaya ketika berada di negara
berkembang: ketidakpastian jadwal, korupsi, makanan, tradisi.
Masyarakat negara berkembang juga mengalami hal sama ketika mengunjungi
negara maju: displin, keteraturan, individualitas. Kita belajar hidup
tidak hanya dari perspektif yang dibangun oleh masyarakat tempat kita
tumbuh, dan ada masalah-masalah atau logika yang baru kita ketahui
setelah dialami. Setelah itu, kita jadi paham, kenapa orang lain
melakukan hal-hal tertentu yang tadinya kita tidak suka. Tentunya,
setiap perjalanan tidak selalu menyenangkan, dan ini harus kita terima
sebagai satu paket. Perjalanan juga bukan berarti lari dari masalah di
tempat tinggal, tapi justru untuk mencari perspektif baru dalam
menghadapi masalah itu.
Hidup di tempat tinggal memang nyaman,
karena semua sudah terprediksi dan kita tahu bagaimana menghadapi
berbagai masalahnya. Namun, sesekali coba ubahlah situasi ini dengan
melakukan perjalanan lalu rasakan manfaatnya.
Jangan lupa siap membuka diri dengan apapun yang terjadi.
Baca juga:
Mengapa jalan-jalan di Indonesia?
Negara-negara bebas visa kunjungan untuk WNI
Tips perjalanan khusus perempuan
Cara bergaul dengan orang lokal di perjalanan
Mencari tempat khas yang belum terjamah turis
Tak dapat teman perjalanan? Ini kelebihan pergi sendiri
Sumber : Sigit Adinugroho mengisi blog perjalanannya, www.ranselkecil.com.